Penebang yang nge-Punk

Kala itu panas terik matahari menyapa tiap-tiap makhluk yang bernafas. Menambah dahaga setiap insan yang berpuasa di bulan ini, bulan suci Ramadhan. Di Indonesia yang banyak pohon aja panasnya kayak gini, apalagi di belantara padang pasir timur tengah yang tak berpohon. Mungkin ini pula yang bisa diterima akal mengenai perbedaan urutan rukun islam. Ada yang mendahulukan puasa dari pada zakat, adapula yang menempatkan puasa setelah zakat. Di daerah gurun pasir tentunya ibadah puasa terasa lebih berat sehingga diletakkan di urutan setelah zakat. Inilah kemudahan di dalam Islam (ecieee…)

In-a-warming-forest-fungi-may-be-key-to-trees-survival
Di tengah terik panas matahari tersebut, seorang lelaki setengah baya, duduk di bawah pohon besar. Meneguk teh hangat berkualitas rakyat sembari menikmati ududnya yang kebal-kebul. Dia terlihat begitu menikmati tiap partikel asap yang menempel di alveolus paru parunya. Sesekali tangannya merapikan potongan rambutnya yang semipunk. Sedikit dikucir di bagian belakang, dan disemir. Penampilan seperti itu sih lebih pasnya menikmati minuman bersoda, bukan teh kualitas rakyat. Namun, inilah nusantara, semua hal bisa terjadi gara-gara urusan ekonomi.
Lelaki itu terlihat kecapean setelah menebang beberapa pohon jati besar. Kuli penebang pohon, itulah profesinya.
“Mas, nggak poso po? (mas, nggak puasa?)”, pernah suatu ketika ditanya Mbah Kaum yang berjasa ngajar alif ba’ ta’.
“Mboten mawon, Mbah (nggak aja, Mbah), saya nggak kuat Mbah tiap hari manjat pohon. Kalo pingsan waktu manjat malah bahaya. Kalo saya mati, anak istri mau makan apa Mbah?”, alasan yang cukup simpel namun masuk akal.
Penebang yang gaul dan nge-punk tersebut kembali meneruskan jawabannya,”Dah, saya nggak mau puasa. mau diapa-apain saya manut ma Gusti Alloh. mau dijepit di wit empring (pohon bambu) trus dijepatke (dilontarkan) ya silahkan, mau dibakar ya silahkan, dipendhem urip-urip (dikubur hidup-hidup) ya silahkan. dihukum seperti apa aja ngikut, lha wong nyatane aku yo ncen salah (karena memang pada kenyataannya memang saya salah). Aku cuma yakin nek Gusti Alloh iku Moho Welas (saya cuma yakin bahwa Alloh Maha Pengasih)”.
Malaikat yang lewat cuma ndlongop (mlongo) bengong sambil berkomentar, “Iki menungso cap opo sih? (ini manusia cap apa sih?)”. Terheran heran dengan keanekaragaman makhluk Alloh. Kemudian malaikat tersebut melihat layar indikator gerak hati si penebang pohon yang gaul dan nge-punk.
Di sana terbaca :
volume roja’ “melewati batas”
volume khouf “rendah”
volume manut “rendah”
volume toto kromo “rendah”
volume GR “tinggi”
volume ngarep-arep rohmat “puncak atas”
Kemudian malaikat mendoakan ” ya Alloh, panjenengan Moho Welas, mugi-mugi volume gerak hati ingkang taseh kirang saged njenengan cukupi (ya Alloh, Engkau Maha Mengasihi, semoga volume gerak hati yang kurang baik bisa Engkau cukupi)”
????

One thought on “Penebang yang nge-Punk

  1. mas ngadmin…kereen ceritanyaaa…tapi bahasa nya menurutku mending dibuat yang lbh merakyat..jangan terlalu ilmiah..dibaca kurang enak..
    e.g indikator hati,volume… he

    Liked by 1 person

Leave a comment