Dari Urgensi Zakat Hingga Ideologi Sosialis

Tak terasa, bulan ramadhan sebentar lagi meninggalkan kita. Padahal, sepertinya baru kemarin saja polemik perbedaan awal ramadhan menjadi perbincangan hangat di banyak majelis ta’lim. Menjelang hari lebaran seperti momen sekarang ini, umat Islam mulai berusaha untuk membayar zakat, tentunya bagi yang mampu. Hati akan merasa lega bila sudah berzakat dengan mengeluarkan 2,5 kg beras. Namun, apakah zakat hanya dimaknai secara sempit dengan memberikan beras 2,5 kg seperti ini saja ?

file-1864814a48170cc5fead838096208a6f890

Saya tidak akan memvonis “salah” bagi orang yang menyatakan bahwa makna zakat adalah terbatas pada patokan beras seberat 2,5 kg saja. Memang demikian adanya pemahaman orang banyak mengenai makna zakat. Namun, jangan salah bahwa pengertian tersebut bukanlah pengertian tunggal yang general terkait dengan pemahaman zakat. Bila kita pelajari  lebih mendalam, dalam pembahasan ilmu fikih Islam, zakat dibagi menjadi dua, yaitu zakat fitrah dan zakat mal. Pemahaman orang awam, bahwa zakat identik dengan beras 2,5 kg, hanya mencakup teritorial pengertian zakat fitrah saja, yang biasa dikeluarkan menjelang hari raya lebaran idul fitri.

Banyak orang menganggap bahwa ketika zakat fitrah sudah dikeluarkan maka hilanglah kewajibannya untuk berzakat. Anggapan seperti ini harus diluruskan. Kalau kita renungi, kira-kira apa motif Tuhan ketika menginstruksikan hamba-Nya untuk berzakat? Apakah tidak ada alasan logis dan hanya berhenti pada titik dogmatis saja? Tentunya Tuhan punya motif. Kebanyakan dari kita mungkin akan menjawab bahwa zakat adalah untuk membantu sesama. Lebih jauhnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Nah, apakah dengan mengeluarkan 2,5 kg saja umat ini bisa sejahtera? Tidak semudah itu. Tuhan tentunya Maha Mnegetahui sehingga umat Islam yang mampu tidak hanya diwajibkan untuk membayar zakat fitrah, tetapi juga diwajibkan untuk membayar zakat mal.

Saat ini yang perlu digali lebih banyak dari umat adalah kesadaran untuk mengeluarkan zakat mal. Dalam konsep zakat mal modern, ada beberapa macam harta yang wajib dizakati, semisal pendapatan, tabungan, investasi uang, harta perniagaan, dan emas. Jumlah zakat yang didapatkan tentunya akan cukup fantastis jika kesadaran berzakat mal semakin tinggi. Zakat mal inilah yang merupakan raksasa potensi umat Islam untuk bisa mencapai kesejahteraan umum.

Zakat dan ideologi sosialis

Terkait dengan tujuan zakat bila ditinjau dari sisi sosial di atas, bolehlah kita sedikit menilik ideologi ekonomi sosialis yang selama ini kita anggap tidak sesuai dengan ideologi ekonomi kita. Dalam konsep ideologi ekonomi soisalis, terdapat cita-cita besar untuk mendistribusikan kekayaan negara kepada seluruh rakyat secara merata. Cita-cita tersebut tentunya bagus dan memiliki sisi kesamaan dengan ide Tuhan ketika mewajibkan umat Islam untuk membayar zakat.

Dalam pembahasan fikih Islam, jelas sekali bahwa zakat hanya boleh dibagikan kepada delapan golongan saja. Kedelapan golongan tersebut adalah fakir, miskin, ‘amil (semacam panitia zakat), muallaf (orang yang baru masuk Islam), ghorim (orang dengan banyak beban hutang), mujahid fi sabilillah (orang yang berjuang di jalan Alloh), ibnu sabil (musafir), dan hamba sahaya. Seperti itulah fikih Islam menentukan golongan umat Islam yang berhak mendapatkan distribusi zakat. Dalam bahasa kaum soisalis, barangkali kedelapan golongan ini adalah sebutan untuk kaum proletar. Anggapan ini mungkin tidak tepat secara definitif. Namun, paling tidak memiliki kesamaan pijakan bahwa keduanya adalah sama-sama merupakan pihak yang pantas untuk mendapatkan distribusi “harta kekayaan”, walaupun dengan alasan yang berbeda.

Kaum proletar dalam konsep sosialis, dianggap pantas untuk mendapatkan distribusi harta kekayaan negara karena keberadaannya adalah menempati kelas sosial kedua dalam masyarakat sehingga tingkat kesejahteraannya perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal tersebut berbeda dengan konsep delapan golongan dalam konsep fikih Islam. Kedelapan golongan tersebut memiliki kriteria masing-masing, tidak melulu bertumpu pada kelas sosial (dalam bahasa kaum sosialis, karena dalam konsep Islam tidak ada kelas sosial). Taruhlah contoh untuk golongan mujahid (pejuang Islam). Dalam perspektif Islam, posisi mereka adalah istimewa, entah berasal dari keluarga biasa saja maupun ningrat. Tapi, karena jasa yang telah diberikan kepada Islam, baik waktu, tenaga, pikiran, maupun biaya, maka mereka memiliki hak untuk mendapatkan bagian dalam distribusi zakat.

oleh Fatchul Anam Nurlaili

dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat

edisi 6 Agustus 2013

Distorsi Makna Zuhud

Saya kira kesalahkaprahan tentang makna zuhud sudah menjadi jamak di kalangan umat. Hampir bisa dipastikan bahwa seorang zahid (orang yang zuhud) diidentikkan dengan orang yang mengenakan pakaian lusuh, compang camping, tidak berpunya, serta menyerah pada takdir. Stereotip tersebut sungguh mencoreng ajaran Islam yang senantiasa menjunjung nilai-nilai keindahan, kemakmuran, keteraturan, dan hal-hal positif lainnya. Cukup tepat kiranya bila ramadhan ini menjadi momentum bersama untuk meluruskan makna zuhud yang selama ini telah mengalami distorsi tersebut.

Memahami makna zuhud akan menjadi mudah dengan merefleksikannya pada ibadah puasa. Ibadah puasa biasa diartikan dengan menahan diri (al imsak) dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (misalnya makan dan minum) dari terbitnya fajar shodiq hingga tenggelamnya matahari. Jadi, walaupun kita memiliki banyak makanan yang halal, ketika berpuasa kita tidak boleh mengkonsumsinya. Seperti itu pulalah sebenarnya makna zuhud, meskipun kita memiliki banyak harta di tangan, namun kita tidak memasukkannya ke dalam hati.

Kondisi seorang zahid boleh saja memiliki banyak harta, bisa seorang milyuner ataupun trilyuner. Namun, satu hal yang menjadi batas kritis di sini adalah bahwa harta yang sekian banyaknya tersebut cukup digenggam di tangan dan tidak dimasukkan ke dalam hati. Mengapa ? Hati adalah wilayah ketuhanan sehingga seorang zahid senantiasa menjaganya dari segala sesuatu yang selain-Nya.

Terkait dengan makna zuhud tersebut, Syaikh Abu Tholib al Makkiy dalam kitab terkenal karya beliau yang berjudul Quut al Qulub mengklasifikasikan zuhud menjadi dua, yaitu zuhd  al aghniya (zuhudnya orang-orang kaya) dan zuhd al fuqoro’ (zuhudnya orang-orang fakir). Lebih jauh beliau menyatakan bahwa praktik zuhud bagi orang-orang kaya adalah dengan ‘mengeluarkan’ dunia dari dalam hati mereka. Bagi orang-orang fakir, praktik zuhud mereka adalah dengan ridlo terhadap kefakiran mereka.

Perlu dicatat bahwa dalam pengklasifikasian tersebut, Syaikh Abu Tholib al Makkiy mendasarkan status kezuhudan seseorang pada kosongnya hati dari dunia, bukan pada kosongnya tangan dari dunia. Nabi Sulaiman adalah seorang utusan tuhan yang tentu saja termasuk dalam golongan orang yang zuhud. Di sisi lain, Nabi Sulaiman juga merupakan seorang raja yang memiliki wilayah luas dan tentu saja harta melimpah. Fakta tersebut saya kira mampu mendukung pemaknaan zuhud seperti yang telah disampaikan di paragraf sebelumnya.

Selain itu, ada lagi satu fakta yang mendukung pemaknaan zuhud tersebut. Seorang ahli tasawuf yang agung, yaitu Syaikh Abu Hasan Asy Syadziliy, terbukti memiliki pemikiran yang sejalan dengan pemikiran Syaikh Abu Tholib al Makkiy. Syaikh Abu Hasan Asy Syadziliy mengajarkan kepada para muridnya bahwa makna zuhud berada pada kosongnya hati dari dunia, bukan kosongnya tangan dari dunia. Hal tersebut terbukti dari banyaknya harta yang beliau miliki, pakaian beliau yang cukup indah, serta kuda tunggangan beliau yang gagah. Beliau sama sekali tidak mengajarkan kepada para murid untuk hidup serba kekurangan dan berpakaian lusuh.

Dalam ranah keilmuan Islam, zuhud masuk dalam pembahasan ilmu tasawuf. Inilah mengapa pembahasan tentang zuhud seringkali melebar pada paradigma tasawuf secara umum.  Pemaknaan yang salah tentang zuhud telah menggiring opini publik bahwa ilmu tasawuf melarang umat Islam  untuk memiliki banyak harta. Tidak heran jika kemudian timbul konklusi yang salah pula bahwa ilmu tasawuf menyebabkan kemunduran bagi umat Islam sehingga pada akhirnya memunculkan gerakan anti-tasawuf.  Lebih lanjut, perkembangan gerakan anti-tasawuf dikhawatirkan akan mereduksi ajaran Islam itu sendiri karena pada hakikatnya ilmu tasawuf adalah bagian dari ajaran Islam. Nah, efek domino seperti inilah yang saya kira harus kita waspadai bersama.

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa permasalahan yang sesungguhnya ada di lapangan tidaklah terletak pada esensi makna zuhud itu sendiri, namun terletak pada distorsi makna zuhud yang selama ini telah menjadi stereotip. Oleh karena itu, kita tidak perlu resah dengan praktik zuhud yang diajarkan di dalam ilmu tasawuf. Justru sebaliknya, seharusya kita mendukungnya karena salah satu buah dari zuhud adalah sirnanya cinta dunia. Ketika cinta dunia telah sirna maka keserakahan akan tumbang. Dan kita tahu bahwa keserakahan adalah sumber malapetaka di negeri ini.