Download kitab tashawuf sunni : hal al fana bainal junaid wal ghozali

cover tasawuf sunni junaid ghozali

Kisanak bisa mampir sejenak untuk download kitab tasawuf sunni, hal al fana baina al junaid wal ghozali. Bisa untuk mendapatkan referensi fan tasawuf. Silahkan download di link bawah.
Kitab tasawuf sunni, hal al fana baina al junaid wal ghozali download di link ini :
https://drive.google.com/file/d/0BwAo5x_aI8kpbWVYLWFLMGRHYjA/view?usp=sharing

Distorsi Makna Zuhud

Saya kira kesalahkaprahan tentang makna zuhud sudah menjadi jamak di kalangan umat. Hampir bisa dipastikan bahwa seorang zahid (orang yang zuhud) diidentikkan dengan orang yang mengenakan pakaian lusuh, compang camping, tidak berpunya, serta menyerah pada takdir. Stereotip tersebut sungguh mencoreng ajaran Islam yang senantiasa menjunjung nilai-nilai keindahan, kemakmuran, keteraturan, dan hal-hal positif lainnya. Cukup tepat kiranya bila ramadhan ini menjadi momentum bersama untuk meluruskan makna zuhud yang selama ini telah mengalami distorsi tersebut.

Memahami makna zuhud akan menjadi mudah dengan merefleksikannya pada ibadah puasa. Ibadah puasa biasa diartikan dengan menahan diri (al imsak) dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (misalnya makan dan minum) dari terbitnya fajar shodiq hingga tenggelamnya matahari. Jadi, walaupun kita memiliki banyak makanan yang halal, ketika berpuasa kita tidak boleh mengkonsumsinya. Seperti itu pulalah sebenarnya makna zuhud, meskipun kita memiliki banyak harta di tangan, namun kita tidak memasukkannya ke dalam hati.

Kondisi seorang zahid boleh saja memiliki banyak harta, bisa seorang milyuner ataupun trilyuner. Namun, satu hal yang menjadi batas kritis di sini adalah bahwa harta yang sekian banyaknya tersebut cukup digenggam di tangan dan tidak dimasukkan ke dalam hati. Mengapa ? Hati adalah wilayah ketuhanan sehingga seorang zahid senantiasa menjaganya dari segala sesuatu yang selain-Nya.

Terkait dengan makna zuhud tersebut, Syaikh Abu Tholib al Makkiy dalam kitab terkenal karya beliau yang berjudul Quut al Qulub mengklasifikasikan zuhud menjadi dua, yaitu zuhd  al aghniya (zuhudnya orang-orang kaya) dan zuhd al fuqoro’ (zuhudnya orang-orang fakir). Lebih jauh beliau menyatakan bahwa praktik zuhud bagi orang-orang kaya adalah dengan ‘mengeluarkan’ dunia dari dalam hati mereka. Bagi orang-orang fakir, praktik zuhud mereka adalah dengan ridlo terhadap kefakiran mereka.

Perlu dicatat bahwa dalam pengklasifikasian tersebut, Syaikh Abu Tholib al Makkiy mendasarkan status kezuhudan seseorang pada kosongnya hati dari dunia, bukan pada kosongnya tangan dari dunia. Nabi Sulaiman adalah seorang utusan tuhan yang tentu saja termasuk dalam golongan orang yang zuhud. Di sisi lain, Nabi Sulaiman juga merupakan seorang raja yang memiliki wilayah luas dan tentu saja harta melimpah. Fakta tersebut saya kira mampu mendukung pemaknaan zuhud seperti yang telah disampaikan di paragraf sebelumnya.

Selain itu, ada lagi satu fakta yang mendukung pemaknaan zuhud tersebut. Seorang ahli tasawuf yang agung, yaitu Syaikh Abu Hasan Asy Syadziliy, terbukti memiliki pemikiran yang sejalan dengan pemikiran Syaikh Abu Tholib al Makkiy. Syaikh Abu Hasan Asy Syadziliy mengajarkan kepada para muridnya bahwa makna zuhud berada pada kosongnya hati dari dunia, bukan kosongnya tangan dari dunia. Hal tersebut terbukti dari banyaknya harta yang beliau miliki, pakaian beliau yang cukup indah, serta kuda tunggangan beliau yang gagah. Beliau sama sekali tidak mengajarkan kepada para murid untuk hidup serba kekurangan dan berpakaian lusuh.

Dalam ranah keilmuan Islam, zuhud masuk dalam pembahasan ilmu tasawuf. Inilah mengapa pembahasan tentang zuhud seringkali melebar pada paradigma tasawuf secara umum.  Pemaknaan yang salah tentang zuhud telah menggiring opini publik bahwa ilmu tasawuf melarang umat Islam  untuk memiliki banyak harta. Tidak heran jika kemudian timbul konklusi yang salah pula bahwa ilmu tasawuf menyebabkan kemunduran bagi umat Islam sehingga pada akhirnya memunculkan gerakan anti-tasawuf.  Lebih lanjut, perkembangan gerakan anti-tasawuf dikhawatirkan akan mereduksi ajaran Islam itu sendiri karena pada hakikatnya ilmu tasawuf adalah bagian dari ajaran Islam. Nah, efek domino seperti inilah yang saya kira harus kita waspadai bersama.

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa permasalahan yang sesungguhnya ada di lapangan tidaklah terletak pada esensi makna zuhud itu sendiri, namun terletak pada distorsi makna zuhud yang selama ini telah menjadi stereotip. Oleh karena itu, kita tidak perlu resah dengan praktik zuhud yang diajarkan di dalam ilmu tasawuf. Justru sebaliknya, seharusya kita mendukungnya karena salah satu buah dari zuhud adalah sirnanya cinta dunia. Ketika cinta dunia telah sirna maka keserakahan akan tumbang. Dan kita tahu bahwa keserakahan adalah sumber malapetaka di negeri ini.