Mbah Karim (Part Satu)

“Wir, jupukke ondho Wir!”, perintah Mbah Karim pada Kang Wir, salah satu santri Mbah Karim, sambil mendongakkan pandangan ke langit-langit rumah.

Entah mengapa lampu di kamar-tengah padam. Suasana yang biasanya cukup terang kini temaram. Ruangan itu hanya mendapatkan sedikit sinar lampu dari lampu kamar sebelah. Kabel lampu tersebut memang sudah usang. Tikus-tikus rumah yang usil mungkin memutus kabel tersebut. Itulah kemungkinan yang terlintas dalam benak Mbah Karim.

mbah karim 1

Kang Wir, sebagai santri yang selalu berusaha untuk taat pada perintah guru, segera bergegas menuju halaman belakang rumah, tempat penyimpanan ondho, atau tangga dalam bahasa indonesia. Tangga itu akan digunakan untuk naik ke atas, mengecek kabel yang diduga dikrikiti tikus usil. Tikus, hewan kecil yang menjijikkan menurut banyak ibu rumah tangga. Sering berulah mengganggu kenyamanan pemilik rumah. Dalam benak, Kang Wir terlintas pikiran mengapa tuhan menciptakan tikus, apa gunanya. Kang Wir yakin, tikus pasti ada gunanya. Tapi dia sendiri belum tahu. Aneh memang, belum tahu tapi yakin. Mungkin sebenarnya Kang Wir hanya memaksakan keyakinannya saja karena adanya ayat robbanaa maa kholaqta haadza baathila.

Tak terasa tangga telah berada di depan mata. Tangan Kang Wir segera meraih dan memikulnya, dibawa menuju Mbah Karim, guru tercintanya. Kang Wir melangkah sambil dzikir khofiy dalam hati, Allah Allah, sesuai yang diajarkan Mbah Karim. Sebelum sampai ruang tengah, Kang Wir sempat sedikit heran. Ruang tengah yang tadinya terlihat temaram kini  menyala terang. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Kang Wir untuk tetap membawa tangga ke Mbah Karim. Walaupun mungkin tangga tidak akan dipakai untuk mengecek kabel.

“Ndi ondhone, Wir…???!!!”

“Nggeh mbah, niki”, jawab Kang Wir sambil terus melangkah menuju ruang tengah.

“Masya Alloooh……”, Kang Wir terperanjat kaget melihat Mbah Karim yang sudah berada di atas balok kayu penyangga atap rumah.

“Lho mbah, lha kok sampun ten nginggil. Lha ondhone niki ngge nopo?”, dengan lugu Kang Wir bertanya kepada Mbah Karim.

“ Tak nggo mudhun, Wir!”, jawab Mbah Karim dengan singkat.

Kang Wir heran. Nggak tahu bagaimana caranya kok Mbah Karim bisa naik di langit- langit atap padahal tangganya baru saja sampai. Mungkinkah terbang? Atau mungkin menghilang dan kemudian ketika nampak tiba-tiba sudah berada di langit-langit? Ah, Kang Wir benar benar bingung. Kalau memang terbang atau apalah itu, mengapa harus minta tangga? Naiknya saja bisa tanpa tangga Kangak turunnya malah harus pake tangga.

Kebingungan Kang Wir Kangih saja menyelimuti otaknya. Dia baru tersadar kalau tadi Mbah Karim minta dipasangkan tangga untuk turun. Kang Wir kemudian memasang tangga sambil melihat ke atas. Betapa kagetnya Kang Wir, Mbah Karim sudah tidak di atas lagi.
“Lha trus ondhone ki nggo ngopo je?”, Kang Wir tambah bingung.

Bro Santri, Ramadhan Fil Gunung (RFG)

Malam itu udara sangat dingin. Membuat tubuh bro santri merinding luar dalam. Seandainya udara sedingin itu, mungkin burung Hud Hud yang berbulu pun nggak berani keluar dari barisan pasukan Nabi Sulaiman.

Agak ajib memang. Di daerah gunung kidul ada daerah yang dingin. Dikatakan ajib karena kaprahnya, daerah dingin biasa ditemukan di lokasi dengan “ketinggian yang tinggi namun cukup air”, seperti di Magelang atau lereng Merapi. Lha ini daerah Gunung Kidul, airnya sulit minta ampun Tapi, daerah yang ditempati RFG bro santri berhawa dingin. Digali sumur sampai dalam juga nggak bakal keluar airnya. Kalau terlalu dalam malah berbahaya, jangan-jangan yang keluar malah lumpur panas seperti di Porong Sidoarjo (qiqiqi…)

View Of A Beautiful Sea Cove Hdr HD Desktop Background
“Bro , mampir dulu sini. Ngobrol-ngobrol bareng…”, seorang pemuda di kampung itu menyapa bro santri.
Sejak seminggu yang lalu bro santri RFG di lokasi tersebut. Melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh pesantren tempat dia mondok mencari ilmu. RFG, kepanjangan dari Ramadhan fil Gunung, merupakan program untuk melatih santri untuk menghadapi berbagai karakter masyarakat yang heterogen.

Kesan pertama yang didapat bro santri adalah ‘beda banget coy kondisi di TKP RFG dengan daerah bawah, banyak kondisi yang perlu dibenahin’. Rumor yang berkembang di masyarakat kota adalah bahwa pemudi di TKP RFG cantik bersih. Tapi nyatanya bro santri nggak menemukan tuh yang kayak gitu… kurang beruntung aja kali yah (weeeeek….)
Suatu ketika bro santri pernah ngobrol dengan seorang abdi dalem kraton yang mukim di daerah dataran rendah. Sebagai seorang abdi dalem, wajarlah kalau dalam kesehariannya tak bisa lepas dari praktik kejawen. Banyak tamu yang datang ke beliau, mulai dari pengangguran hingga pengusaha sukses. Perbincangan hangat terjadi di antara mereka. Pembahasan berkutat pada pemudi gunung yang konon cantik mulus menawan.
“Nak Bro, sudah pernah ke Gunung Kidul kan? Cantik kan cewek-ceweknya?”, abdi dalem kraton itu bertanya pada bro santri. Bro santri hanya mengangguk sambil terus menunggu ucapan sang abdi dalem kraton.
Sang abdi dalem pun meneruskan gagasan lanjutnya. “Padahal di sana langka air lho. Kalau dibandingkan cewek di dataran rendah yang airnya melimpah, kok malah mulusan cewek sana, padahal di sana kesulitan air untuk mandi? Lha cewek cewek di daerah kita, sehari mandi lima kali tapi kok malah kusam hayooo ???”.
Bagi bro santri statemen tersebut cukup mengena. Istilah “mandi sehari lima kali” yang dimaksud adalah sholat lima waktu sehingga maksud perkataan sebenarnya adalah “cewek gunung pedalaman masih banyak yang belum sholat, tapi nyatanya berwajah cemerlang mulus nan manis. Apa gunanya sholat kalau pengamalnya berwajah kusam”. Bro santri paham dengan makna terselubung tersebut.

Pemikiran tersebut cukup falsafiy dan sebenarnya berpola sama dengan mainstream di kitab dharmogandhul yang cenderung menusuk jantung Islam. Bro santri paham akan hal itu sehingga dia hanya tersenyum manis. Benar-benar senyum manis yang tulus, tanpa ada rasa benci ataupun laknat. Dalam hati dia hanya berkata “ wajah iku kan wes cetakan, dari sononya. Tujuane wong sholat dudu ben wajahe cemerlang atau beraura mulus menawan, tapi untuk nglaksanakke dhawuh. Betapa rendahnya penghargaan seorang hamba terhadap ‘dhawuh sholat’ bila ia hanya akan menukarkan sholat dengan cemerlangnya aura lahir. Kusam ataupun cemerlang tak cukup hanya dipandang dari mata lahir”.
Seekor cicak yang ada di dinding sampingnya nyeletuk, “Betul bro pemikiranmu….”

Penebang yang nge-Punk

Kala itu panas terik matahari menyapa tiap-tiap makhluk yang bernafas. Menambah dahaga setiap insan yang berpuasa di bulan ini, bulan suci Ramadhan. Di Indonesia yang banyak pohon aja panasnya kayak gini, apalagi di belantara padang pasir timur tengah yang tak berpohon. Mungkin ini pula yang bisa diterima akal mengenai perbedaan urutan rukun islam. Ada yang mendahulukan puasa dari pada zakat, adapula yang menempatkan puasa setelah zakat. Di daerah gurun pasir tentunya ibadah puasa terasa lebih berat sehingga diletakkan di urutan setelah zakat. Inilah kemudahan di dalam Islam (ecieee…)

In-a-warming-forest-fungi-may-be-key-to-trees-survival
Di tengah terik panas matahari tersebut, seorang lelaki setengah baya, duduk di bawah pohon besar. Meneguk teh hangat berkualitas rakyat sembari menikmati ududnya yang kebal-kebul. Dia terlihat begitu menikmati tiap partikel asap yang menempel di alveolus paru parunya. Sesekali tangannya merapikan potongan rambutnya yang semipunk. Sedikit dikucir di bagian belakang, dan disemir. Penampilan seperti itu sih lebih pasnya menikmati minuman bersoda, bukan teh kualitas rakyat. Namun, inilah nusantara, semua hal bisa terjadi gara-gara urusan ekonomi.
Lelaki itu terlihat kecapean setelah menebang beberapa pohon jati besar. Kuli penebang pohon, itulah profesinya.
“Mas, nggak poso po? (mas, nggak puasa?)”, pernah suatu ketika ditanya Mbah Kaum yang berjasa ngajar alif ba’ ta’.
“Mboten mawon, Mbah (nggak aja, Mbah), saya nggak kuat Mbah tiap hari manjat pohon. Kalo pingsan waktu manjat malah bahaya. Kalo saya mati, anak istri mau makan apa Mbah?”, alasan yang cukup simpel namun masuk akal.
Penebang yang gaul dan nge-punk tersebut kembali meneruskan jawabannya,”Dah, saya nggak mau puasa. mau diapa-apain saya manut ma Gusti Alloh. mau dijepit di wit empring (pohon bambu) trus dijepatke (dilontarkan) ya silahkan, mau dibakar ya silahkan, dipendhem urip-urip (dikubur hidup-hidup) ya silahkan. dihukum seperti apa aja ngikut, lha wong nyatane aku yo ncen salah (karena memang pada kenyataannya memang saya salah). Aku cuma yakin nek Gusti Alloh iku Moho Welas (saya cuma yakin bahwa Alloh Maha Pengasih)”.
Malaikat yang lewat cuma ndlongop (mlongo) bengong sambil berkomentar, “Iki menungso cap opo sih? (ini manusia cap apa sih?)”. Terheran heran dengan keanekaragaman makhluk Alloh. Kemudian malaikat tersebut melihat layar indikator gerak hati si penebang pohon yang gaul dan nge-punk.
Di sana terbaca :
volume roja’ “melewati batas”
volume khouf “rendah”
volume manut “rendah”
volume toto kromo “rendah”
volume GR “tinggi”
volume ngarep-arep rohmat “puncak atas”
Kemudian malaikat mendoakan ” ya Alloh, panjenengan Moho Welas, mugi-mugi volume gerak hati ingkang taseh kirang saged njenengan cukupi (ya Alloh, Engkau Maha Mengasihi, semoga volume gerak hati yang kurang baik bisa Engkau cukupi)”
????